Hidup di negeri ini semakin hari menunjukkan keunikan tersendiri. Berdasarkan realita, setiap kelompok masyarakat, baik organisasi, lembaga pendidikan, maupun instansi pemerintah, pasti memiliki kebijakan yang dibuat untuk mengatur jalannya sistem agar lebih tertib dan terstruktur. Kebijakan ini biasanya lahir dari kesepakatan bersama dan seharusnya dijalankan oleh seluruh pihak yang terlibat.
Namun, seiring waktu, pelaksanaan kebijakan kerap hanya menjadi formalitas. Mungkin di awal kepemimpinan masih dijalankan, tetapi lama-lama hanya tinggal aturan tanpa makna. Padahal, keberadaan kebijakan sangat penting. Meski begitu, ada hal yang dianggap lebih penting dalam praktiknya: kekuatan “orang dalam”.
Fenomena ini bukan lagi hal baru. Di luar sana, sudah sering terdengar bagaimana peraturan dilanggar demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Dengan dalih kedekatan dengan atasan, loyalitas, atau kesiapsiagaan, seseorang bisa mendapatkan kemudahan luar biasa. Akibatnya, muncul praktik pilih kasih, seperti lolosnya administrasi tanpa kelengkapan atau diterimanya pegawai meski kompetensinya minim semata-mata karena pengaruh “orang dalam”.
Jika sistem seperti ini terus dibiarkan, maka sebaiknya hapus saja semua kebijakan. Gantikan dengan sistem relasi dan kedekatan agar semuanya "merata" dalam kekacauan. Namun, jika kita ingin perubahan dan keteraturan, maka sudah saatnya sistem kekuasaan orang dalam dihentikan dan kebijakan ditegakkan dengan adil serta konsisten.
Fenomena ini memang bukan hal asing. Akan tetapi, jika terus terjadi, bagaimana mungkin negara ini bisa berkembang jika hal-hal mendasar saja masih diabaikan?
Apakah kita ingin terus seperti ini?Kebijakan ditegakkan, tetapi keadilan ditinggalkan. Orang dalam diloloskan, tetapi integritas diabaikan!
Penulis: Islah

wayahe
BalasHapus