Antropogenik: Luka Yang Kita Ukir Di Tegal

Sumber: Pinterest 


Tegal, tanah pesisir yang sejak zaman Majapahit dikenal sebagai jalur perdagangan strategis, kini diam-diam memikul beban berat. Beban itu tak lain adalah dampak antropogenik luka-luka ekologis yang diukir manusia sendiri. DiSungai-sungai yang dahulu menghidupi sawah dan ladang, kini berwarna keruh, penuh bakteri dan logam berat. Di Kabupaten Tegal, sungai Gung, Sibelis, dan Kemiri tercemar bakteri coli tinja hingga puluhan ribu MPN/100ml, jauh melampaui ambang batas aman (200 MPN/100ml). Penyebabnya sederhana sekaligus menampar kesadaran kita: minimnya jamban rumah tangga, kebiasaan buang air langsung ke sungai, serta limbah deterjen yang mengalir begitu saja.

Tak hanya bakteri, dalam perut sungai Tegal juga mengalir logam seng, tembaga, dan sisa-sisa asam sulfat dari industri logam rumahan di Adiwerna. Ironisnya, industri skala kecil ini menopang ekonomi ratusan keluarga sekaligus menaburkan racun pelan-pelan.

Di tepi jalan Margasari, kendaraan melintas membawa debu kapur yang melayang bebas. Di pusat peleburan aki bekas seperti Pesarean, Kebasen, Karangdawa, asap sulfur dan partikel timbal menari-nari, tak terlihat mata telanjang, tapi meninggalkan jejak maut. Hasil pemeriksaan menunjukkan 46 dari 50 warga di sana terkontaminasi timbal, dengan 12 orang berada dalam level mengkhawatirkan. Ada yang mulai lamban berpikir, ada yang tangannya gemetar, bahkan anak-anak pun merasakan konsekuensinya. Industri berjalan, ekonomi rakyat hidup, tapi perlahan kesehatan generasi berikutnya dijual murah kepada asap dan debu.

Tegal juga merintih dari sisi laut. Abrasi telah memakan 48 hektare lahan pantai sejak 1980-an, diperparah dengan penebangan mangrove untuk kayu bakar dan pembangunan tambak. Pesisir yang seharusnya menjadi penahan gelombang kini telanjang, membuat banjir rob datang lebih sering.

Di pusat kota, kita jumpai tumpukan sampah yang menggunung setiap hari. Di Banjaran, PKL menyumbang sekitar 4,25 m³ sampah per hari, belum termasuk sampah rumah tangga. Bau busuk, lalat, tikus semua jadi tamu tak diundang yang menandakan kita gagal memanusiakan lingkungan. Bila luka ini bernama antropogenik, maka kita semua pelukisnya.

Individu tak bisa hanya menuding pemerintah sambil terus mencuci piring dengan deterjen berlebih, membuang puntung rokok ke selokan, atau menebang pohon di pekarangan tanpa menanam pengganti. Pemerintah daerah pun sering abai. Penegakan hukum lingkungan lemah, industri rumah tangga yang membuang asam dan timbal ke sungai tetap berjalan tanpa IPAL memadai. Program reklamasi lahan B3 berjalan lambat, seringkali hanya seremonial. Limbah cair dari pemotongan hewan di Pangkah mengalir begitu saja ke sungai, membuat BOD, COD, dan TSS melampaui baku mutu tapi tindakan tegas hampir tak terdengar.

Media lokal pun kadang hanya mengejar sensasi politik atau kriminal, lupa memberi sorotan tajam dan berkelanjutan pada krisis ekologi ini. Padahal tanpa pengawasan publik yang masif, kita hanya menunggu lebih banyak anak-anak Tegal bermain di tanah yang telah terpapar timbal, meminum air yang menyimpan logam berat, dan menghirup udara penuh debu sulfur.

Mungkin kita semua harus menunduk malu. Karena antropogenik bukan hanya kata ilmiah, tapi cermin retak yang memantulkan wajah kita: manusia yang tamak, yang lebih sibuk membangun jalan daripada menyelamatkan sungai; yang bangga pada pabrik-pabrik tapi lupa pada paru-paru warga.

Bila tak segera sadar, Tegal bukan hanya akan kehilangan sawah, sungai, dan lautnya tapi juga masa depan anak-anaknya. Dan kelak, sejarah hanya akan menuliskan kita sebagai generasi yang menukar kesehatan dengan koin receh pembangunan.


Penulis: Fadlu Yauman 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama