Sumber: Wikipedia
Kritik pada dasarnya tidak pernah salah. Justru, kritik sering menjadi cermin yang membantu kita untuk tumbuh dan dewasa. Namun, ada satu hal yang sering dilupakan yaitu bagaimana membedakan antara kritik dengan hinaan. Kritik bertujuan memperbaiki dan membangun, sedangkan hinaan bermaksud meruntuhkan perasaan orang lain. Dua hal ini jangan sampai dicampuradukkan tetapi sering kali kita tak bisa membedakannya.
Masalahnya yang dikritisi sering kali terlalu baper, sementara yang mengkritik kadang merasa dirinya paling cerdas sedunia. Padahal, mencari kesalahan itu pekerjaan yang mudah, siapa pun bisa melakukannya. Yang jauh lebih sulit adalah bagaimana menyampaikan kritik dengan niat tulus, dan bagaimana menerima kritik dengan lapang dada.
Di sisi lain, kita perlu ingat bahwa hak selalu berjalan seiring dengan kewajiban. Hak untuk hidup berarti kewajiban orang lain untuk tidak melukai kita. Hak untuk makan berarti ada orang lain yang wajib menyediakan makanan. Hak untuk belajar pun tidak bisa dipisahkan dari kewajiban untuk sungguh-sungguh belajar, agar kita tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat. Jadi, jangan berpikir bahwa memiliki hak berarti bebas bermalas-malasan. Hak selalu menuntut tanggung jawab.
Hal lain yang sering disalahpahami adalah anggapan bahwa kritik identik dengan kebencian. Padahal, kritik justru bisa menjadi bentuk kepedulian paling tulus. Tidak ada sesuatu yang bisa berkembang tanpa kritik yang baik. Benar, ada kritik yang lahir dari kebencian, tetapi tidak semua kritik berangkat dari niat yang sama.
Namun, perlu juga dicatat: jika kritik yang sama muncul setiap tahun, dengan pola dan isi yang tak pernah berubah, maka itu bukan lagi kritik. Itu sudah menjadi rutinitas. Kritik tahunan yang hanya diulang-ulang biasanya bukan tentang pembangunan, melainkan tentang kepentingan.
Dan memang, di balik setiap kritik ada kepentingan. Itu hal yang alami. Seseorang bisa mengkritik karena ingin memperbaiki keadaan, tapi bisa juga karena ingin mendapatkan posisi, pengakuan, atau sekadar melampiaskan kekecewaan. Begitu juga yang menerima kritik: bisa jadi menolak bukan karena tidak mau memperbaiki diri, melainkan karena merasa kepentingannya terganggu.
Di sinilah pentingnya memahami bahwa setiap orang punya self interest. Kepentingan ini tidak selalu buruk, karena ia bagian dari sifat manusia. Hanya saja, insentif dan disinsentif tiap orang berbeda-beda. Apa yang dianggap keuntungan bagi satu pihak bisa jadi kerugian bagi pihak lain, dan sebaliknya. Jika kita gagal menyelaraskan perbedaan kepentingan itu, maka hubungan baik persahabatan, kerja sama, maupun organisasi mudah sekali retak.
Karena itu, mari kita kembalikan kritik pada tempatnya. Bagi yang memberi kritik, sampaikanlah dengan rendah hati, tanpa merasa menjadi “dewa kebenaran.” Bagi yang menerima kritik, jangan terlalu cepat tersinggung. Ingat, kritik tidak selalu berarti kebencian; ia bisa jadi bentuk dukungan yang paling jujur. Dan yang terpenting, sadarilah bahwa di balik kritik selalu ada kepentingan. Menyelaraskan kepentingan itulah yang akan menentukan apakah kritik menjadi jalan perbaikan, atau justru sekadar rutinitas tahunan yang terus diulang-ulang.
Penulis: Fadlu Yauman