Patuh Yang Dipuja, Kritis Yang Dicerca

Design by: Fadlu 


Kita datang ke kampus dengan dada penuh kebanggaan “Aku mahasiswa!” katanya. Lantas, apakah itu berarti kita sudah bebas Atau kita hanya murid berseragam tak kasat mata, yang kini berubah warna menjadi almamater?

Betapa banyak yang datang ke ruang kuliah hanya untuk memastikan nama tercatat di absen, bukan ilmu yang tertanam di kepala. Betapa banyak yang lebih takut terlihat bodoh saat bertanya, daripada betul-betul bodoh karena tak pernah bertanya. Betapa banyak yang sibuk menyalin catatan teman, padahal pikiran sendiri masih perawan, tak pernah disentuh rasa ingin tahu.

Dan kita bangga disebut “mahasiswa”? Ah, barangkali kita hanya anak SMA yang tubuhnya keburu dewasa, sementara kesadaran tetap terpenjara. Gedung boleh megah, gelarnya boleh sarjana, tapi cara berpikir? Masih barisan rapih menunggu perintah, takut salah langkah, takut ditegur dosen takut merdeka.

Bukankah kampus seharusnya taman bagi akal? Tempat logika tumbuh, diskusi mekar, pendapat berbeda disiram bukan ditebang? Sayangnya, banyak kampus justru kebun monokultur: seragam, tunduk, takut angin berbeda. Hierarki dijaga mati-matian, birokrasi dirawat bagai pusaka, sementara keberanian bertanya diperlakukan laksana hama pengganggu reputasi.

Mahasiswa kritis dicap sok pintar, mahasiswa vokal disindir tak sopan, mahasiswa diam justru dipuji santun. Beginikah cara kita memelihara kebodohan dengan tatakrama?.

Kita pun tak sepenuhnya salah, sebab sistem kampus memang lebih gemar memburu akreditasi ketimbang menumbuhkan keberanian intelektual. Mahasiswa baik adalah yang patuh, bukan yang bertanya; yang nurut, bukan yang menantang; yang diam, bukan yang menggugat. Tak heran bila kampus hari ini lebih banyak mencetak penjaga sistem ketimbang penggugat sistem. Lebih banyak murid dewasa daripada manusia merdeka.

Maka tanyalah pada diri sendiri: Apakah kita sungguh mahasiswa atau sekadar siswa tua yang kebetulan kuliah? Jika kita masih takut mengkritik dosen yang salah ucap, masih manut pada aturan kampus tanpa ruang diskusi, masih mengejar IPK sembari memalingkan wajah dari realitas rakyat yang terluka, mungkin kita hanya naik kelas umur, tapi tetap kelas bawah dalam kesadaran.

Dunia ini tidak kekurangan ijazah, tapi kerontang akan pikiran yang berani. Tidak lapar gelar, tapi kelaparan gagasan. Menjadi mahasiswa sejatinya bukan soal umur, bukan sekadar status. Ia soal keberanian berjalan di jalan sunyi, mempertanyakan yang mapan, melawan kebodohan meski berseragam sopan, menyuarakan yang dibungkam, dan merumuskan ilmu bukan sekadar hafalan.

"Menjadi Mahasiswa adalah memikul tanggung jawab sosial. Bukan hanya sekedar tangga karir untuk hidup nyaman."


Penulis: Fadlu Yauman 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama