Mahasiswa Aktivis yang Seperti Apa sih?
![]() |
pict: resplubika.id |
Seiring berjalannya
waktu, saya sendiri kerap kali mendengar julukan “mahasiswa aktivis” atau
“aktivis kampus”. Terlebih di masa-masa orientasi maupun pengenalan kampus
untuk mahasiswa baru. Namun bukan hanya julukan itu saja, saya juga kerap kali
mendengar “mahasiswa akademisi” atau “akademisi kampus”. Biasanya julukan ini
banyak terucap pasca nilai Indeks Prestasi sudah dikeluarkan. Siapa yang IP nya
cukup melampaui predikat Cumlaude,
maka ia banyak disebut mahasiswa akademisi.
Nah, mungkin di sini
saya akan menuliskannya mengenai hal-hal tersebut, namun lebih banyak fokus
membahas mahasiswa aktivis.
Sangat disayangkan,
banyak mahasiswa yang hanya menilai mahasiswa lainnya hanya berdasar pada
penampilannya saja, padahal hal itu bisa saja sebagian dari kesalahan yang
tidak baik untuk terus digunakan.
Sering saya amati di
berbagai kampus dan lingkaran mahasiswa, ketika terdapat mahasiswa dengan
tampilan yang acak-acakan, celana jeans, kaos, memakai topi, rambut gondrong,
dan memakai sandal dinilai sebagai mahasiswa aktivis. Atau di sisi lain, ketika
mahasiswa tersebut pandai dalam menyampaikan argumentasinya, berani mengkritik,
public speaking nya mendekati
sempurna lantas mereka banyak mendapat julukan mahasiswa aktivis. Begitupun
sebaliknya, mahasiswa yang berpakaian rapi menggunakan kemeja yang dirangkap
jas almamater, bersepatu pantopel, memakai celana bahan dan memakai peci dicap
sebagai mahasiswa akademis. Mereka yang berada dalam golongan ini biasanya
cenderung tidak banyak berbicara, nurutan, lebih banyak menanggapi sesuatu
dengan apa adanya, dsb. Ada lagi, mahasiswa yang biasanya kita temui di
perguruan tinggi Islam, yang mana dilihat dari segi penampilan ia memakai
pakaian islami, busana muslim, kemeja koko, peci, dsb. Biasanya mereka disebut
akhiyah, uktiah atau aktivis dakwah.
Walaupun mungkin
point-point di atas banyak benarnya sesuai realita apa yang ada, namun
penilaian-penilaian tersebut bisa saja tidak akurat. Misalnya terdapat
mahasiswa yang pergi ke kampus hanya memakai kaos dan celana pendek, memakai
sandal dengan wajah kusut serta rambut acak-acakan, nah bisa saja dia baru
bangun tidur dan segera mengejar mata kuliah di kelasnya. Atau ditemui
mahasiswa yang selalu pake rok, dan kerudung berwarna item melulu, kemejanya
itu-itu aja, sepatu sandalnya sudah sangat tipis, tas yang ia pakai hanya muat
1 buah handpone. Mungkin ia tidak memiliki rok, kerudung nya yang masih ia
sukai hanya wara hitam, kemeja yang belum turun ke bak cuci hanya itu saja, dan
sepatu sandal yang ia punya hanya satu. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang
bisa kita lihat dari segi penampilan. Namun di sini saya mengamati bahwa
penampilan tidak mencerminkan seorang mahasiswa itu menyandang gelar aktivis,
akademisi, maupun aktivis dakwah.
Dalam hal ini, saya
menyampaikan bahwa yang dimaksud aktivis bukan hanya ia yang masuk dalam sebuah
organisasi baik eksternal maupun internal kampus. Sebab banyak pula mereka yang
terjun di sebuah organisasi yang notabenya banyak disebut aktivis, namun ketika
ada gerakan sosial tidak mau terlibat di dalamnya. Biasanya mereka hanya banyak
meluangkan waktu maupun energinya untuk kegiatan di organisasinya, namun kurang
dalam memerhatikan ligkungan sosialnya. Bagaimana mau dibilang aktivis ketika
turun ke jalan untuk menyuarakan hak-hak rakyat saja tidak mau? Atau mungkin
hanya untuk galang dana saja enggan?
Nah, saya juga
mengamati bahwa mahasiwa aktivis mungkin bisa saja tumbuh dari mereka yang
tidak mengikuti organisasi namun seringkali mengadakan gerakan sosial, mengajak
teman-temannya untuk bergerak bersama, peduli lingkungan sosialnya, dan menjadi
agen of change, serta membela
masyarakat. Mungkin saja, kiranya begitu.
Namun, mahasiswa
aktivis di sini juga tidak dapat hanya dinilai dengan giat mereka ketika di
jalanan. Mungkin banyak terjadi, praktik di lapangannya hanya untuk
senang-senang saja, bukan untuk ikhlas membela hak rakyat atau memberontak atas
apa yang tidak sesuai.
Point pentingnya,
gelar mahasiswa aktivis tidak dapat dinilai hanya dari segi penampilan,
organisasi, maupun gerak dia dalam suatu aksi. Gelar tersebut terlalu ringan
jika hanya diberikan pada kriteria-kriteria itu. Padahal, untuk menuju
mahasiswa aktivis kita perlu banyak tahap yang harus diperhatikan.
Berbicara soal
aktivis, adalah berbicara tentang gerak dan rasa. Pelabelan aktivis tidak bisa
begitu saja hadir tanpa adanya dua hal yang mengikat, yaaaa... gerak dan rasa.
Rasa berani maupun rasa sosial yang tinggi tentu akan menghadirkan sebuah
gerakan sebagai bentuk solusi maupun hasil. Maka dari itu terbentuklah hasil
dari sebuah pengikatan.
Ketika dengan
penampilan yang acak-acakan atau justru penampilan yang rapi dan agamis itu ada
pada dirimu, dan dirimu juga sudah memiliki rasa untuk memanusiakan manusia
dengan bentuk-bentuknya, misal peduli ligkungan, peduli teman, peduli kepada
rakyat miskin, peduli agama, negara dan bangsa, maka dirimu bisa dikatakan
setengah aktivis. Kemudian ketika dirimu mampu merealisasikan rasa-rasa yang
ada di jiwamu itu menjadi sebuah gerakan yang menghasilkan, maka dirimu sudah
dapat dikatakan sepenuhnya aktivis.
Gerak yang dimaksud
bukanlah sesuatu yang besar, namun gerak dari manusia dan untuk manusia pula.
Misal saja dengan memberikan nasi bungkus kepada mereka yang sangat
membutuhkan. Hal tersebut sudah bisa dikatakan gerak yang berangkat dari rasa.
Ketika kita sudah
faham mengenai makna aktivis dan mampu untuk mendapatkan hal itu, maka kita
perlu menjaganya. Bukan hanya labelnya saja yang dijaga, namun apa yang sudah
menjadi bumbu di dalamnya. Predikat aktivis bukan hanya ajang untuk gaya-gayaan
saja, akan tetapi makna dan fungsinya lebih luas lagi. Saya mengamati predikat
aktivis tidak hanya untuk dianggap keren saja, namun kembali lagi kepada niat
individualnya, serta bagaimana ia bergerak untuk kepentingan orang banyak.
Mungkin kita sudah
banyak melihat sosok aktivis yang tidak mendapatkan eksistensi di masanya,
namun ia benar-benar memperjuangkan hak-hak rakyat serta peduli sosial
lingkungannya. Sebut saja Munir, seorang aktivis HAM yang
rela mengorbankan kenyamanan dirinya demi orang lain. Dia terus berjuang
melawan sistem kekuasaan yang otoriter. Tidak menyukai tindak kekerasan
terhadap siapapun. Widji Tukul, aktivis HAM yang juga tak pernah kenal
lelah melawan ketidak adilan. Puisinya yang berjudul Peringatan terus
menjadi simbol perlawanan rakyat atas ketidak adilan hingga sekarang.
Dari tokoh tersebut,
dapat terlihat jelas bagaimana perjuangannya melakukan demo untuk membela
rakyat. Ia bergerak atas dasar rasa kemanusiaannya tanpa mengharap balas jasa
apapun. Mereka juga menjadi contoh perilaku aktivis lingkungan yang berangkat
dari hal-hal kecil, misalnya membuang sampah pada tempatnya, melakukan kerja
bakti, dsb. Mereka juga tidak pantang berhenti bersuara atas nama rakyat
meskipun ditawari banyak uang, dan tak pantang diam walau ditawari banyak
jabatan.
Penuli : Faa