Apakah dunia ini nyata? ataukah ia hanya tirai yang memukau pandangan, menyesatkan penglihatan, menipu perasaan? Dalam kaca mata Tantra, realitas eksternal tidak lebih dari bayangan kusam dari apa yang belum selesai di dalam batin manusia. Dunia bukan sebab, ia hanyalah akibat. Dunia hanyalah layar, tempat batin manusia memproyeksikan film-filmnya sendiri: tentang ketakutan, keinginan, ambisi, bahkan tentang luka masa lalu yang tak kunjung sembuh.
Karena itu, saat seseorang sibuk memamerkan kemewahan menghitung merek-merek mahal yang menempel di tubuhnya, memamerkan foto liburan di negeri asing, memuat potret glamor penuh editan di sosial media ia sesungguhnya sedang menutupi lubang besar dalam dirinya. Lubang itu bernama kekosongan.
Maka jangan tertipu. Flexing bukan tanda keberlimpahan batin. Flexing hanyalah teriakan sunyi dari hati yang haus pengakuan. Ia tidak lahir dari rasa cukup, tetapi justru dari rasa kurang yang teramat dalam. Lihat betapa ironisnya: Orang yang paling sibuk memamerkan hartanya sering kali adalah orang yang paling rapuh jiwanya. Karena kalau batin sudah utuh, siapa lagi yang perlu diyakinkan?
Tantra mengajarkan dengan tajam: Bahwa tubuh ini, bersama seluruh simbol duniawi yang melekat padanya, tak lain hanyalah kendaraan bagi sukma ruh, kesadaran murni. Tubuh itu penting, tetapi hanya sebagai alat bukan tujuan.
Namun lihat bagaimana manusia hari ini? mereka menukar jiwa yang agung dengan debu yang fana. Mereka memoles kendaraan tetapi melupakan pengemudinya. Mereka menyanjung raga, memuja citra, membangun identitas semu dari benda-benda mati.
Tak ayal, lahirlah budaya konsumsi yang menjadikan manusia bukan lagi siapa dia, melainkan apa yang dia punya. Harga diri dikalkulasi dari harga tas, jam, mobil, rumah. Martabat diukur dari seberapa mewah pesta, seberapa mahal dekorasi, seberapa viral konten.
Oh betapa rendah manusia ketika jati dirinya ditentukan oleh benda mati!. Di mana martabat kesadaran, jika manusia tunduk pada benda yang lebih rendah derajatnya daripada dia?
Inilah akar hedonisme modern: kesenangan diburu bukan sebagai syukur, tetapi sebagai pelarian. Dunia maya menjadi panggung utama, tempat semua orang berlomba-lomba menampilkan diri seolah-olah sempurna.
Berbahagialah mereka yang betul-betul bahagia, tetapi alangkah banyaknya yang pura-pura bahagia, menipu orang lain sambil diam-diam menipu dirinya sendiri. Dan lebih dalam lagi: Demi menopang gaya hidup yang menipu itu, manusia tak segan melanggar norma, bahkan hukum. Demi citra, demi pujian, demi kesan sukses, lahirlah praktik korupsi, manipulasi, kolusi.
Kekuasaan dan uang dijadikan alat bukan untuk membangun kebaikan, tapi menopang panggung drama hidup yang sebenarnya keropos. Begitulah ketika hidup dikendarai oleh nafsu dan citra, bukan oleh ruh dan kesadaran. Yang dikejar bukan kesejatian, melainkan fatamorgana.
Menarik sekali bila kita menoleh pada langkah Tiongkok yang melarang rakyatnya memamerkan kekayaan secara berlebihan. Banyak yang menafsirkan itu semata politik ekonomi, menjaga stabilitas sosial agar jurang si kaya dan si miskin tak semakin curam.
Tetapi bukankah kita juga bisa membacanya dengan mata batin? barangkali, larangan itu disadari atau tidak juga mengandung hikmah ruhani: Menyelamatkan warganya dari keterjerembaban dalam pusaran ilusi massal, mencegah mereka semakin larut dalam sandiwara harta dan status.
Dalam Tantra, pengekangan bukanlah penindasan. Pengekangan adalah penataan ulang orientasi hidup agar manusia kembali ke pusat dirinya: kesadaran. Bukan pada kulit-kulit dunia yang semu.
Kini kita kembali pada pertanyaan mengguncang: Apakah benar dunia ini hanya fatamorgana? pertanyaan ini terdengar aneh, bahkan menampar logika. Karena setiap hari kita hidup di dalamnya, melihat, menyentuh, mencium, meraba, mengejar. Dunia terasa sangat nyata. Tapi kenyataan yang terasa nyata belum tentu sejati.
Dalam samudra pengalaman ruhani para Nabi dan wali, dunia hanya setipis kelambu. Tampak, tapi tembus pandang. Menggoda, tapi kosong. Seperti bayangan air di padang pasir, memanggil dari kejauhan, tapi hampa saat digapai. Bahkan Allah telah berfirman:
“Dan Kehidupan Dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)
“Dan sesungguhnya negeri Akhirat itu benar-benar kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut: 64)
Perhatikan ujung ayat: “Kalau mereka mengetahui" Betapa sedikit manusia yang tahu!, dan lebih sedikit lagi yang mau mencari tahu.
Banyak yang salah sangka. Mereka kira kesadaran akan akhirat itu harus menunggu mati. Padahal Nabi menerima ayat-ayat ini saat Beliau masih hidup di dunia, berjalan dengan kedua kakinya di pasir, memakan roti gandum, memimpin perang, berdagang, berkeluarga. Artinya apa? Kesadaran akan akhirat bukanlah kesadaran yang menanti ajal. Ia adalah kesadaran yang bisa dan seharusnya diakses sekarang, selagi ruh masih berada dalam tubuh.
Akhirat bukan hanya wilayah nanti. Ia adalah dimensi, dan dimensi dapat disentuh oleh kesadaran yang telah naik melebihi dimensi jasad. Sebagaimana diajarkan oleh Prof. Dr. Kadirun Yahya: “Dimensi yang lebih tinggi akan mengontrol dimensi yang lebih rendah.”
Jika ruh telah naik ke maqam yang tinggi, maka dunia akan tunduk. Tapi jika ruh masih tidur, masih dikurung oleh pancaindra, maka dunia akan menguasai. Ia akan menipu, memerintah, memperbudak.
Di sinilah pentingnya thariqat, jalan spiritual, suluk, laku. Tanpa jalan, kesadaran akan akhirat hanya menjadi wacana. Tanpa laku, semua hanya menjadi pengetahuan yang memuaskan logika tapi tak mengubah getaran ruh.
Namun waspadalah, bahkan bagi para salik, para penempuh jalan. Karena jalan ini halus. Banyak yang merasa telah sampai hanya karena mengerti. Padahal baru sekadar memahami dengan akal, belum mengalami dengan ruh. Mereka terjebak dalam fatamorgana rasa “seolah-olah sudah sampai”, padahal baru menapaki pintu.
Akhirat baru sungguh diketahui ketika ruh benar-benar terangkat. Bukan sekadar dibicarakan dalam majelis atau diceramahkan di mimbar. Ia adalah pengalaman. Dan saat ruh belum terlatih, maka ketika jasad mati nanti, ruh akan bingung, tertahan di barzakh, terombang-ambing tanpa arah.
Maka para Wali Allah mengajarkan: “Mutu qablal mutu” matilah sebelum mati. Bukan mati raganya, melainkan mati egonya. Mati keterikatan kepada dunia. Mati dari cinta kepada citra. Agar ketika kematian fisik datang, itu hanya seperti melepas baju yang sudah sempit. Ruh telah siap terbang.
Siapa Yang Mengemudikan Hidupmu?Pertanyaannya kini menusuk kita: Apakah hidup kita didominasi oleh tubuh atau oleh ruh? Siapa yang sebenarnya memegang setir perjalanan kita sehari-hari?
Bila tubuh dan syahwat memegang kendali, maka dunia tampak amat penting, menakutkan, menggoda. Kita menjadi budak merek, budak like, budak gengsi. Kita sibuk mematut-matut bayangan di cermin yang akan keriput, memoles nama yang akan dilupakan.
Tapi bila ruh memimpin, dunia ini akan tampak ringan. Seperti asap, ada tapi tak layak digenggam. Ruh tak diperbudak citra, tak terpukau tepuk tangan. Ia hanya berlabuh pada Yang Maha Nyata.
Dari Katanya Menjadi Kataku. Inilah kesadaran yang mesti kita bangkitkan, bukan saat menanti liang lahat, tapi sekarang, selagi ruh masih menyatu dengan jasad. Tempuhlah jalan-Nya. Carilah guru yang benar.
Berjalanlah bukan untuk disebut “penempuh jalan,” tetapi agar ruh benar-benar tersambung pada Nur Ilahi. Karena pada akhirnya, dunia ini hanya tampak nyata bagi mereka yang belum mengenal Yang Lebih Nyata.
Dan ketika ruh telah naik, semua fatamorgana akan tersingkap. Dunia tetap dijalani, tetapi tak lagi memerangkap. Pada saat itulah kita berhenti berkata, “Kata mereka dunia ini ilusi.” Dan mulai berkata, “Aku tahu, sebab aku telah melihatnya sendiri, meski aku belum sepenuhnya pergi”.
Penulis: Fadlu Yauman