Menjadi Mahasiswa PAI di Era Disrupsi: Mencari Jalan di Tengah Arus yang Deras

Dokumentasi HMPS PAI


Aula kampus Institut Agama Islam Bakti Negara (IBN) Tegal pada Rabu pagi itu penuh sesak. Kursi-kursi terisi mahasiswa yang datang dari berbagai angkatan, mengenakan jas almamater biru kehormatan. Namun yang paling terasa bukan hanya warna biru yang mendominasi ruangan, melainkan aura antusias sekaligus kegelisahan tentang masa depan.

Di atas panggung, Noval Maliki, M.Pd., berdiri menatap ratusan pasang mata yang haus akan arah. Dengan nada penuh keyakinan, ia melontarkan kutipan yang langsung menggedor kesadaran: “Hari ini kita tak lagi bersaing dengan teman sekelas, tapi dengan dunia. Siapa yang tidak mau belajar dan beradaptasi akan hilang seperti kabut tersapu angin.”

Seminar Nasional bertema “Eksistensi Mahasiswa Pendidikan Agama Islam di Era Disrupsi” ini tak hanya sekadar ritual akademik. Bagi banyak mahasiswa, ini adalah alarm yang mengingatkan bahwa gelar tak lagi menjadi jaminan jika tidak disertai keterampilan nyata. “Setidaknya ada tiga modal utama yang wajib kalian miliki: keterampilan pedagogis, literasi digital, dan kemampuan berpikir kritis,” kata Noval, yang juga penulis buku “Pesantren di Era Disrupsi.”

Kutipan itu seakan menjadi kompas baru bagi para mahasiswa PAI yang kerap terjebak dalam rutinitas kuliah dan tugas, tanpa menyadari pentingnya melatih daya saing sejak dini. Ia pun memberi contoh nyata: bagaimana toko online merajai pasar dan membuat banyak toko konvensional gulung tikar. Sebuah ilustrasi sederhana namun dalam, yang menegaskan pentingnya adaptasi.

Di tengah suasana santai, pemateri tiba-tiba melempar data yang membuat ruangan sunyi. “Tahukah kalian, setiap tahun ada sekitar 30.000 lulusan PAI, sedangkan formasi PNS guru PAI hanya sekitar 1.000 sampai 2.000 orang? Lalu ke mana yang lainnya?”

Kalimat ini bukan sekadar retorik, tapi pukulan telak pada kenyataan. Mengundang mahasiswa untuk berpikir lebih kritis: apakah mereka hanya akan menjadi angka statistik, atau berjuang membuka jalan sendiri?

Tak semua hanya diam mendengar. Bahtiar, salah satu mahasiswa, mengangkat tangan tinggi-tinggi. Dengan nada gugup namun tegas, ia bertanya: “Kalau infrastruktur kampus saja belum memadai, bagaimana kami bisa bersaing? Sedangkan itu kan juga modal penting?”

Sang pemateri tampak menghela napas kecil, lalu menjawab dengan sabar, “Itu pertanyaan yang luar biasa kritis. Memang banyak kampus yang sibuk mengejar target akademik tapi lupa menyiapkan fasilitas pendukung mahasiswa. Kalau infrastrukturnya terbatas, minimal harus sering mengadakan pelatihan, workshop, bahkan kolaborasi lintas sektor. Karena PAI itu bukan hanya soal mengajar agama, tapi juga bisa menembus bidang ekonomi, wirausaha, dan lainnya.”

Ia menambahkan, “Ingat, keterbatasan bukan alasan untuk berhenti belajar. Justru saat sarana terbatas, kreativitas kita diuji.” Noval lalu menantang peserta, “Siapa yang aktif di organisasi ekstra kampus?” Beberapa tangan terangkat malu-malu. Ia lantas menyoroti PMII sebagai satu-satunya organisasi ekstra yang ada di IBN.

“Organisasi itu laboratorium terbaik untuk melatih softskill. Di sana kalian belajar debat, mengelola program, menyusun argumen — semua itu modal penting untuk berpikir kritis. Jangan hanya sibuk mengurus IPK.”

Seminar pagi itu memang berakhir menjelang siang, diiringi tepuk tangan panjang. Namun bagi banyak mahasiswa, diskusi tersebut baru saja membuka pintu labirin tanya yang lebih besar. Apakah mereka akan cukup puas hanya menunggu nasib, atau berani memahat jalan sendiri dengan semangat berpikir kritis, berbekal literasi digital, pedagogis, dan mental adaptif yang tahan banting di zaman yang terus berubah?.


Penulis: Diva Muzdalifah 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama