Bincang Santai Mengulik Mahasiswa Aktivis Kampus
Diskusi rutinan Lembaga Pers Mahasiswa Tanpa Titik telah terlaksana pada hari Rabu, 22 September 2021. Kegiatan diawali dengan pembacaan do'a pembuka, kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza dan dilanjutkan pembacaan muqoddimah secara bergilir oleh semua peserta diskusi. Selanjutnya adalah pemaparan teks muqoddimah oleh Asyifa Suryani, selaku penulis.
Syifa
menjelaskan bahwa secara umum ada tiga pelabelan untuk mahasiswa. Yaitu,
mahasiswa aktivis, mahasiswa akademis, dan mahasiswa agamis. Banyak mahasiswa
yang menganggap dirinya aktivis hanya karena sering ikut nongkrong dengan
mahasiswa lain, namun ketika ada kegiatan penggalangan dana dia enggan untuk
ikut. Nah mahasiswa seperti itu pantaskah disebut aktivis? Lalu mahasiswa yang
berpenampilan rapi, mahasiswa yang disebut kupu-kupu (kuliah pulang - kuliah
pulang) yang mempunyai Indeks Prestasi tinggi tapi tidak bergabung ke dalam
organisasi kampus, biasa disebut mahasiswa akademis. Lain hal nya dengan
mahasiswa bersarung, berpeci, yang mempunyai jadwal mengajar di mushola, sering
disebut mahasiswa agamis.
Berbicara soal aktivis, adalah berbicara tentang gerak
dan rasa. Mahasiswa aktivis yaitu ketika ia sudah mempunyai dua
pengikat tersebut. Contohnya seperti mereka yang memungut sampah di sekitar
lingkungannya sendiri, itu dapat dikatakan aktivis lingkungan yang tumbuh dari
hal-hal kecil, ketika ada sampah ia mau memungut. Berasal dari rasa yang
menimbulkan gerak.
Mahasiswa
aktivis tidak harus mereka yang turun ke jalanan untuk berdemo. Karena ada juga
beberapa mahasiswa yang ikut demo tetapi dia tidak tau apa-apa. Banyak omong di
jalan, sekadar contohnya "Turunkan Jokowi!! Turunkan Jokowi!!"
Padahal dia tidak tau masalahnya apa. Hal seperti itu tidak dapat dikatakan
mahasiswa aktivis.
Berbagai
tanggapan dan pertanyaan muncul sepanjang jalannya diskusi. Ada yang mengatakan
mahasiswa aktivis yaitu mahasiswa yang aktif dalam segala bidang, yang
mempunyai jiwa sosial tinggi, public speaking nya bagus, mahasiswa yang
selalu berbeda pendapat dengan dosen, bahkan ada yang mengatakan mahasiswa
aktivis itu mahasiswa yang gila.
"Kalau
mahasiswa akademis mengejar nilai, otomatis di dalam kelas ia juga harus aktif.
Entah itu bertemu dosen, selalu hadir dalam kelas, mengerjakan tugas, dan
lain-lain. Yang seperti itu berarti dia aktivis dong? Kenapa harus ada
label akademis dan aktivis, kalau yang akademis itu ternyata juga
aktivis?" Tanya Isal.
"Apakah
bisa seorang mahasiswa dikatakan mahasiswa aktivis dan akademis sekaligus?"
Sambung Okta.
Menanggapi
pertanyaan tersebut, syifa mengatakan ada juga mahasiswa aktivis yang merangkap
menjadi mahasiswa akademis. Belum tentu mereka yang aktivis kemudian
akademisnya berantakan.
"Kita
yang aktivis dalam organisasi masih bisa kok mengejar nilai akademis
tinggi". Tuturnya.
Semua
kembali lagi pada paradigma yang berlaku di lingkungan kampus terkait mahasiswa
aktivis maupun akademis. Padahal paradigma tersebut belum tentu benar.
Mahasiswa yang aktif di kelas dikatakan mahasiswa akademis, karena dari
beberapa survei yang telah dilakukan, mereka yang fokus akademis, ingin
mengejar cumlaude, tidak mengikuti UKM maupun kegiatan lain di luar kelas. Ada
juga yang banyak mengikuti kegiatan organisasi, tapi dia ingin menghidupi
akademisnya. Ketika kita mendapat label aktivis dan akademisnya juga mengikuti,
mungkin kedua label tersebut juga bisa masuk kepada kita.
Saat ditanya setuju tidaknya ada pelabelan mahasiswa
aktivis, akademis, dan agamis, Heri menjawab tidak setuju. Karena nantinya
sudut pandang kita terhadap mahasiswa seutuhnya dipersempit oleh adanya
pelabelan yang berakibat memunculkan jarak antara ketiga label mahasiswa tersebut.
Pelabelan
sebenarnya tidak resmi. Namun jika kita membahas kampus, kita akan bersinggungan dengan istilah-istilah
aktivis dan sebagainya. Kembali pada stigma masing-masing orang. Cara orang
menilai sesuatu pasti berbeda. Pandangan kita bisa saja benar atau salah. Jika kita
menganggap mahasiswa aktivis begini dalam kacamata kita, bisa jadi menurut
orang lain berbeda. Ketika kita berjejaring keluar, juga akan mendengar hal-hal
tersebut.
Tujuan
diskusi tersebut bukan untuk mendapatkan titik tengah aktivis itu yang seperti
apa, namun lebih untuk mengenalkan konotasi-konotasi yang berkaitan dengan
aktivis mahasiswa.
Setelah
dirasa cukup, diskusi kemudian ditutup dengan pembacaan maula ya sholi..
Penulis:
Rosiana