Hidup adalah yang kudengar
![]() |
Pict : Pinterest |
"Sudahlah..
berhenti mendengarkan lagu itu. Nanti yang ada kamu malah berlarut-larut dalam
sedihnya." tepukkan di punggungnya mengagetkan Rindu yang
kala itu sedang mendengarkan lagu.
"Ehhh
iya bang.."
"Sudah
2 jam lhoh, kamu duduk termenung, lagu itu diputar sudah hampir 4 kali. Kamu
boleh mencocokkan diri kamu dengan sebuah lagu, hanyut dalam liriknya. Tapi
ingat, Rin, kamu itu bukan pelaku di lagu itu. Kamu punya kehidupan kamu
sendiri. Mohon diingat yah Rin ucapan Abang mu ini."
Aku
balas dengan senyum kepada Abangku.
Dia memang sosok pengganti Abah. Abah pergi meninggalkan kami saat aku baru
saja dilahirkan. Kata ibu, dia mirip sekali dengan Abah. Caranya dia berjalan,
caranya berbicara dengan penuh kelembutan, dan bijaksananya kepada aku dan ibu.
Usianya baru genap 25 tahun kemarin.
"Ndo..
Ndo.. gaweanmu iku mendengarkan lagi itu saja dari tadi. Ibu heran sama kamu.
Kamu itu ndak
ada teman untuk diajak bermain apa gimana si?”
"Gimana
mau dapet teman Bu, wong kerjaannya cuma diem aja di kamar, lagu itu ibarat sahabatnya si Rindu
Bu. Jadi, hari-hari Rindu itu sahabatannya ya sama lirik lagu. Ehehehhe.. iya
toh Rin? Omongan Abangmu bener toh?" Senggolan Abangnya. Rindu tak berpengaruh sama
kerinduannya yang kala itu sudah berada dipaling puncaknya rindu.
"Bebas dong, namanya juga orang. Bebas berekspresi
kan?" Sahutku sesimpel itu.
"Abang
kasih tahu yah, bebasmu itu bukan bebas yang sebetulnya tau."
Rindu
mengerutkan keningnya itu, dan memandang tajam
kedua mata Abangnya.
Seolah tak sabar untuk mendengarkan kalimat selanjutnya.
"Iya
.." Abang memperhatikan Rindu dan paham dengan tatapannya Rindu yang tajam
itu. Seperti sedang disuguhi
seekor kerbau yang gemuk, dia siap menerkam dan mencabik-cabik tubuhnya dengan kuku
yang paling tajam.
"Bebasmu
itu masih tahap satu. Apa coba? Bisa ndak
kamu jawab?”
"Rin
ndak tau bang. Emang
ada? Hoooho.. jangan-jangan, Abang cuma memojokkan Rindu yah.. bilang aja udah.
Ketahuan ko, Abang itu cu..."
"Cuma
apa? Iri sama kamu Rin? Lah ya ndak
toh. Abang itu bersyukur, karena, Abang itu lebih dulu dilahirkan sama Ibu,
lebih dulu merasakan, lebih dulu tahu. Intinya nggak ada dihati Abang yang namanya iri sama
adik sendiri. Kalau masalah kasih sayangnya Ibu sama Abang? Waaah, jauh lebih
banyakan Abang Rin daripada kamu. Ahahahhahaha"
"Sudahhh..
sudah.. kalian itu kalau dikasih kesempatan ngomong itu betul-betul
dimanfaatkan sekali yah." Candaan ibu begitu jleb bagi Rindu dan Abangnya,
seketika suasana menjadi hening. Rindu dengan keheranannya dan Abang dengan
kesantainnya tapi serius.
"Maksud
Ibu?
Ibu
yang sedang mengupas bawang merah akhirnya berhenti sejenak dan ...
"Kamu
itu ... dari tadi Ibu perhatikan memang sedang memberontak dengan apa yang kamu
rasa, Ndo. Ibu itu hafal betul anak ibu itu seperti apa. Nah
Abang kamu itu tu, dia itu sedang pake pakaian Abah. Seolah, semua yang
diucapkannya itu minta dihormati, dihargai, jangan dipotong kaya tadi yah
Ndo."
"Ooooh,
pantesan saja. Langsung naik pitam si Abang. Enjih Bu. Rindu baru paham."
Percakapan
itu pun berakhir dengan senyuman yang saling sapa. Mereka beranjak satu sama
lain dari meja makan ke dapur, dari dapur ke ruang tengah.
***
"Kenapa
yah, aku bisa begini. Emm.. padahal dulu aku, ...."
Tok
tok tok... "Ndo? Sudah sholat belum Ndo? Apa jangan-jangan kamu tidur
Ndo?" Panggilan ibu mengagetkanku.
"Enjih
Bu.. belum sholat. Ehehehe... Nanti Rin turun ke bawah
2 menit lagi deh." mengumpat di balik
pintu kamar.
"Ya
sudah.. Ibu sama Abang tunggu dibawah yah Ndo."
"Enjih
Bu.."
Anak
tangga dilaluinya dengan sabar. Tangannya fokus dengan pegangan kayu berwarna
putih yang kinclong.
"Satu
tangga, turun lagi, turun lagi dan lagi lagi turun. Hemmm... Kapan yah rumah
ini pake eskalator. Ahahha... "
"Ada
apa Ndo? Ko geguyu sendiri toh?"
"Eheheheh
.. itu Bu. Kapan yah, rumah kita ada eskalatornya. Biar ndak cape Bu."
"Wahhh...
Gayanya pake eskalator. Kamu ke ATM aja ndak bisa. Ahahahah" Abang dan Ibu
tertawa seketika melihat wajah Rindu yang malu itu.
"Apa
hubungannya eskalator sama ATM Bang? Eskalator
itu ya tinggal dinaiki saja, nanti juga turun sendiri, penak tenan lhoh mas,
tinggal berdiri ndak
usah buang tenaga berat kaya naik tangga ini."
"Heeee..
kamu ini. Ya jelas ada lah.. lah yang namanya..."
"Hee...
Sudah sudah. Ayo turun Ndo, jangan manyun di tangga.
Jangan dengerin Abangmu, yang
ada nanti kita ndak
jadi sholat kalau ngobrol
terus."
Ibu
meraih tanganku dengan lembut dan merapikan mukenah yang masih terlihat
beberapa helaian rambutku.
Ibu
memang masih menganggap kami anak kecil. Aku yang paling disayang, karena
mungkin aku anak perempuan satu-satunya Ibu, karena mungkin aku anak terakhir
yang haus akan kasih sayang, dan karena mungkin aku ini pendiam jadi Ibu sangat
khawatir kepadaku. Ya begitulah. Tapi, sungguh, itu semua adalah kado terindah
yang akan selalu abadi dalam rumah kecil kami ini, akan terus menjadi atap bagi
keluarga mungil kami.
"Abang,
Ibu, aku sayang kalian. Semoga kalian selalu bahagia"
***
"Bang,
dulu, aku pernah punya teman namanya Ruli, teman kecil aku."
"Ruli?
Siapa dia, Rin? Setahu Abang... Kamu itu.."
"Ihhhhh..
itu loh, temen aku yang dulu sering main ke rumah kita. Waktu rumah kita belum
berlantai dua loh, Bang. Masa Abang lupa si.."
"Seinget
Abang, kamu ndak
pernah punya temen. Apalagi pas kamu bilang waktu rumah kita belum bertingkat
Rin."
Aku
heran. Kenapa Abang begitu keheranan saat ku bercerita tentang Ruli. Padahal
dia dulu sering bermain bareng sama Aku. Tapi ya sudahlah. Biar Abang
pikir-pikir sendiri.
"Ya
mungkin, Abang lupa kali,
atau
Ibu saja yang melihatnya. Intinya dia itu sedih Bang. Dia punya ayah dan ibu
yang selalu berantem. Dan akhirnya Ruli pergi dari rumah dan dia dateng ke
rumah kita. Dia sediiiih sekali. Katanya, ayahnya itu jahat, ayahnya sering
memukul dia sama ibunya. Dan ndak
tau kenapa aku di sana merasa jadi orang
dewasa Bang. Aneh kan?”
Abang
yang sedari tadi mendengarkan cerita Rindu terus mengikuti alurnya Rindu.
Padahal dia saja tidak tau temannya itu. Mungkin saja itu imajinasinya Rin
waktu kecil.
"Rindu,
merasa aneh Bang. Anehnya rindu bercerita tentang sosok ayah dengan baik.
Padahal Abang tau sendiri kan, kalau Rin ndak pernah tau sosok ayah itu seperti apa,
sifatnya seperti apa, dan yang lainnya. Dan seketika itu, Rin mengatakan
padanya tentang sosok ayah. Dan itu semua ada pada lirik lagu yang Rin dengar
sekarang Bang."
"Oh ya?? Liriknya seperti apa Rin. Nyanyiin
buat Abang dong. Sama Ibu juga yah.. wait.. Abang panggil ibu sebentar. Jangan
kemana-kemana"
"Haaaaaaa??
Abang ini kenapa si, padahal cuma mau dengerin Rin nyanyi aja pake panggil Ibu
segala. Emmm .. yasudahlah."
Abang
berlarian kesana kemari mencari Ibu disemua sudut dan akhirnya menemukan Ibu di taman bunga belakang rumah.
"Bu?...
Rindu Bu.."
"Iya
Le, ibu udah tau.”
(Menitihkan air matanya sambil memeluk Abang)
"Apa
ini keajaiban yang Allah beri kepada batin Ibu dan anaknya? Ibu tahu tentang
lirik lagu itu?”
"Sudah.
Ibu tahu itu dari awal kamu memberikan ponsel itu sama Ibu untuk Rin.. Ibu yang
udah download-in lagu itu untuk Rin.. supaya nanti Rin ndak pernah marah sama Abah. Supaya Rin ndak pernah nanya-nanya Abah sama kita. Ibu
merasa bersalah sama Rin"
"Ibu
ndak pernah salah,
liat Abang Bu.”(Kedua
telapak tangan Abang mendarat di kedua pipi Ibu yang lembut itu)
“Ibu tidak salah dan tidak pernah salah. Abang salut sama
ibu. Kenapa begitu? Sebab, biarpun
Abang mengingatkan sosok Abah yang kala itu pergi ninggalin Ibu, disaat
susah-susahnya Ibu, tapi Ibu sedikitpun ndak pernah membuat hati Abang sakit. Meski
terkadang Abang sendiri jijik dengan diri Abang sendiri, karena Abang mirip
sama Abah."
"Jangan
Le... Jangan berkata begitu, Ibu mohoonnn. Abang adalah anak Ibu, bukan Abah.
Abang ndak
boleh marah sama diri Abang sendiri.. Abang jauh sejuta kali lebih baik dari
Abah. Karena Abang malaikat Ibu dan Rin.. Ibu mohoonnn Le... Ibu mohon sama
kamu Le (tangisan ibu pecah dibahu Abang)."
"Enjih
Bu, Abang ndak
akan seperti itu. Jangan sedih lagi, Bu. Sekarang Abah bagaimana kabarnya di
kota?"
"Ibu
barusan, dapet telepon dari Bibimu. Katanya, Abah sudah meninggal Le, Ibu ndak kuat Le.. Ibu bingung. "
Keharuan
begitu terasa di sudut taman kali ini. Sosok Abah yang begitu dicintainya telah
pergi untuk selamanya. Tidak akan kembali lagi ke rumah, tidak ada lagi suara
Abah dan senyuman Abah yang manis dengan lesung pipinya. Seketika Abang pun teringat,
Rin sudah lama menunggunya di kamar. Dan dengan kebesarannya hati Abang dan Ibu
melangkahkan kakinya ke kamar Rin, untuk mendengarkan lagu tentang Abah yang
baru saja pergi untuk selamanya.
"Bu,
kalau Ibu ndak
kuat, kita ndak
usah ke kamar Rin. Nanti biar Abang saja."
"Ndak papa, Ibu kuat, nanti selepas Rin
bernyanyi kita pergi ke kota yah bareng-bareng. Ibu ingin, Rin melihat Abah
untuk pertama kali dan terakhir kalinya."
"Ibu
yakin?"
Anggukan
Ibu menandakan Ibu bersedia, dan senyumannya adalah kekuatan super, di tengah hujan yang lebat dengan kilatan
petir.
Tok
tok tok.. "Ndo? ... Kata Abangmu, kamu mau menunjukkan sesuatu sama Ibu
dan Abang. Apa itu Ndo?"
"Ibu
habis nangis yah? Kenapa Bu?”
"Enda,
itu tadi ada telepon Ibu diminta pergi ke kota. Nanti tolong temeni Ibu kesana
yah. Nanti kalian berdua ikut Ibu ke kota."
"Rin,
Ayo dong. Katanya mau nyanyi"
"Eheheheh
iya Bang. Rin cek nadanya dulu ya"
Engkaulah nafasku... Yang menjaga
di dalam hidupku
Kau ajarkan aku menjadi yang
terbaik
Kau tak pernah lelah... Sebagai
penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang
terindah...
Aku hanya memanggilmu ayah, disaat
ku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu ayah.. jika
aku t'lah jauh dari mu...
Rin
menyanyikannya dengan tulus dan mata terpejam. Tak dilihat olehnya Abang dan
Ibu yang sedang menangis. Lantaran lagu itu adalah lagu yang cocok dengan
keadaan keluarga mungil mereka. Sosok Rindu yang merindu pada Abah, yang haru
bertemu Abah untuk pertama dan terakhir dalam seumur hidupnya membuat tangis
seorang Ibu yang penuh penyesalan. Di tengah-tengah
Rindu yang merindukan sosok Abah, Ibu memeluknya dengan begitu erat. Disambung
dengan pelukan Abang yang menghangatkan kedua perempuan yang lemah dan yang ia
sayangi. Akhirnya mereka pergi ke kota, dan Rindu layaknya orang yang sedang
bangun dari mimpi, ia bersyukur bisa melihat Abah untuk yang pertama kali dan
bernyanyi untuk Abahnya. Dan ia pun sedih, karena secepat itu dia melihat
kepergian Abah yang dicintainya, Abah yang dirindukannya, Abah yang menjadi
pahlawan dalam bayangannya.
Penulis : Asbiq Malaya
Editor : Salisa
Seperti ada yang kurang
BalasHapus