Apa yang membuat sesuatu menjadi dirinya sendiri? Apakah seekor ayam tetap disebut ayam ketika ia telah mati, diam, dan tak lagi bertelur? Ataukah ada sesuatu yang lebih mendalam yang melampaui bentuk dan daging yang menentukan jati diri segala yang ada?
Aristoteles, dalam jejak pikirannya yang tajam, menggugat pandangan Plato tentang dunia ide yang terpisah dari kenyataan. Ia menolak untuk menjauh dari dunia inderawi dan justru menyelam lebih dalam ke dalam realitas konkret. Baginya, kenyataan bukanlah bayang-bayang dari dunia lain, tetapi pertemuan antara substansi dan esensi.
Substansi adalah bahan mentah, dasar dari segala yang ada materi yang bisa disentuh, ditimbang, diukur. Tapi itu belum cukup. Tanpa esensi, substansi tak ubahnya tanah liat tanpa bentuk, tubuh tanpa jiwa, nama tanpa makna.
Esensi adalah ciri khas, hakikat, tujuan bawaan yang membentuk dan mengarahkan substansi agar menjadi sesuatu yang utuh. Esensi menjadikan ayam itu berkotek, batu itu jatuh, pohon itu tumbuh, dan manusia itu berpikir.
Tanpa esensi, seekor ayam hanyalah bangkai. Tanpa esensi, batu hanyalah bekuan masa. Tanpa esensi, manusia kehilangan arah, menjadi makhluk tanpa tujuan. Esensi adalah napas tak terlihat yang menggerakkan bentuk menjadi makna.
Dalam pandangan Aristoteles, perubahan adalah perjalanan dari yang potensial menuju yang aktual. Segala sesuatu yang ada, menyimpan kemungkinan untuk menjadi lebih dari sekadar wujud kasarnya. Telur, pada dasarnya, mengandung janji seekor ayam. Kayu mentah menyimpan potensi menjadi meja. Anak kecil, mengandung kemungkinan menjadi pemikir besar, pujangga, atau tiran—semua tergantung bagaimana esensi itu diaktualkan.
Namun potensi bukanlah jaminan. Tidak semua telur menetas; sebagian menjadi sarapan. Tidak semua anak tumbuh menjadi pemikir; sebagian tersesat dalam kabut hidup. Potensi harus dirawat, diarahkan, dibentuk. Esensi hanya hadir penuh ketika dipanggil keluar oleh keadaan, oleh usaha, oleh bentuk yang tepat.
Dan bukan hanya makhluk hidup yang tunduk pada hukum ini. Bahkan benda mati pun memiliki kodratnya sendiri. Sebagaimana ayam tidak bisa tidak berkotek, batu tidak bisa tidak jatuh.
Kau bisa mengangkat batu tinggi-tinggi, bahkan melemparkannya setinggi mungkin, tapi ia akan kembali ke tanah. Mengapa? Karena itulah esensinya—karena bumi selalu memanggilnya pulang.
Esensi, dengan demikian, bukan hanya sifat atau fungsi. Ia adalah tujuan laten yang bersemayam dalam substansi. Ia adalah cetak biru dari semesta. Dan substansi, tak peduli sekeras apa bentuknya, selalu diam-diam bergerak menuju bentuk sejatinya.
Segalanya, dalam penglihatan Aristoteles, sedang menuju sesuatu. Tak ada yang diam dalam kekosongan. Semuanya mengandung maksud. Bahkan batu yang jatuh, jatuh bukan sembarangan, tapi karena itu sudah menjadi bagian dari hakikatnya dari kodrat alam yang tak bisa diingkari. Dan begitulah alam bekerja: diam-diam, namun pasti, mengaktualkan kemungkinan menjadi kenyataan.
Penulis: Fadlu Yauman