HUT: Hilang Urusan Tegaknya Keadilan

Picture by: Fadlu 


Bhayangkara, Nama ini lahir di masa silam, ketika kerajaan Majapahit menegakkan tembok-tembok megah demi melindungi tahta raja. Merekalah pasukan pilihan yang menjaga istana, memastikan mahkota tetap bertengger di kepala sang penguasa. Sumpah mereka sederhana: lindungi kuasa, binasakan siapa pun yang mengusik garis takhta. Maka ketika republik ini lahir dari rahim perjuangan pada 17 Agustus 1945, dan kemudian menata langkah di tahun 1946, nama itu dipanggil lagi dari pekuburan sejarah.

Bhayangkara kini jadi julukan resmi kepolisian negara, diresmikan pada 1 Juli 1946, seolah-olah warisan Majapahit yang agung akan turun begitu saja pada para penjaga hukum modern. Namun sejarah kadang bermain licik. Apa yang diwarisi tak selalu kesetiaan pada keadilan. Sering kali hanya kesetiaan pada kekuasaan, apa pun wujudnya.

Hari ini, abad 21, kita melihat Bhayangkara berseragam coklat mondar-mandir dengan pistol di pinggang, rotan di tangan, sirene meraung memecah jalan. Tugasnya katanya untuk “mengayomi dan melayani,” tapi bagi banyak orang kecil, suara sirene justru bunyi lonceng kegelisahan.

Apakah hari ini kami akan diperiksa tanpa alasan?

Apakah motor tua kami akan diincar razia agar bisa dimintai “uang rokok”?

Apakah laporan kami akan ditertawakan di ruang SPKT hanya karena kami bukan siapa-siapa?

Fakta tak pandai berbohong. Pada 2022, tingkat kepercayaan publik pada Polri anjlok ke 54 %, usai tragedi Sambo yang penuh drama darah dan kepalsuan, serta duka Kanjuruhan yang menewaskan ratusan jiwa. Konon kemudian membaik, naik ke 76 % pada Juni 2023, lalu sedikit turun jadi 72 % September.

Tapi siapa yang sungguh percaya pada angka ketika kita masih melihat kasus penembakan di luar proses hukum, pemerkosaan oleh oknum, pemerasan terhadap sopir truk, dan premanisme berseragam di pinggir jalan?

Sementara itu, nama Bhayangkara terus dielu-elukan dalam parade. Setiap 1 Juli, panggung dibangun megah. Ada tarian tradisional, konvoi kendaraan taktis, tepuk tangan pejabat, dan kamera yang menyorot senyum para jenderal. Bunga ditabur di makam pahlawan, syair dibacakan dengan suara bergetar menahan haru—lalu sehari setelahnya, rakyat kecil masih dikejar hutang tilang, dipalak di pos jalan, atau ditampar di pinggir trotoar.

Kami ini rakyat biasa. Kami tak punya kuasa, tak punya akses ke lobi hotel bintang lima tempat kalian mengatur tender dan mutasi. Kami hanya ingin berjalan pulang tanpa takut. Kami hanya ingin bila kami melapor karena anak kami hilang, kalian sungguh mencari, bukan justru menuduh balik kami lalai. Kami hanya ingin bila seorang oknum kalian memperkosa, membunuh, menembak tanpa dasar, hukum menggulungnya tanpa tedeng aling-aling. Bukan sekadar mutasi ke kantor sunyi di ujung provinsi.

Kalian sibuk membenahi citra, menggelar konser musik Bhayangkara, membagi sembako saat ulang tahun.

Tapi kami tidak lapar citra.

Kami lapar keadilan.

Kami ingin Bhayangkara yang sesungguhnya: penjaga rakyat, bukan satpam para raja baru yang mengenakan setelan jas dan dasi mahal.

Ah, Bhayangkara…

Konon kalian adalah pewaris sumpah agung Majapahit. Tapi bila hari ini sumpah itu hanya untuk menertibkan demonstran, memukul buruh, menakut-nakuti nelayan, atau mengawal tambang yang merampas tanah, maka sesungguhnya kalian hanyalah bayangan pucat dari kejayaan masa lalu. Tak lebih dari sisa mitos yang dipoles terus dalam baliho dan siaran televisi.

Kami tak butuh sirene kalian meraung-raung ketika melewati kampung kami. Kami tak ingin dibungkukkan oleh rasa takut tiap kali melihat pos jaga. Kami hanya ingin hukum berdiri tegak, agar kami bisa berjalan menegakkan punggung, menatap wajah anak kami dengan tenang, tanpa khawatir suatu hari Bhayangkara datang, bukan sebagai pelindung, tapi sebagai algojo yang menakutkan.


Penulis: Fadlu Yauman 

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama