Ilustrasi by pinterest
"Ketika pohon terakhir tumbang
dan sungai terakhir mengering,
barulah manusia sadar
uang tidak bisa dimakan."
(Pepatah Suku Indian Cree)
Kita melangkah ringan di atas tanah yang sesungguhnya rapuh, tanah warisan leluhur yang dijahit dengan doa dan peluh, namun kita perlakukan seakan hanya tanah kontrakan, disewa murah untuk pesta pora peradaban.
Dengan gergaji yang diasah oleh ambisi, dan dada yang digembungkan oleh keserakahan, manusia menebas pohon-pohon penopang napas bumi, menyedot habis sungai hingga kering kerontang, menukar tarian awan dengan asap kelabu, mendirikan menara beton di atas jasad hutan yang sunyi.
Namun saat alam tak lagi bersenandung, ketika nyanyian burung hanya tinggal dongeng, dan daun terakhir akhirnya menyerah pada tanah, manusia akan duduk di singgasana debu, menatap tumpukan uang yang tak sanggup memanggil hujan, dan angka-angka rekening yang tak bisa menumbuhkan setangkai rumput.
Stoikisme pernah membisikkan: hidup selaras dengan hukum alam adalah kebijaksanaan tertinggi. Alam bukan musuh yang perlu ditaklukkan, melainkan ibu yang hangat, yang merawat dengan sabar meski terus dilukai.
Filsafat kehidupan mengetuk hati kita, bahwa kemajuan tak sekadar diukur dari kaca gedung yang memeluk awan, atau jalan tol yang membelah rimba, melainkan dari seberapa lembut kita menjejak bumi, dan seberapa tulus kita menampung air hujan dalam tangan.
Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang, melainkan meminjamnya dari anak cucu yang kelak akan bertanya, kenapa warisan yang mereka terima hanyalah tanah retak dan udara sesak.
Dan jika hari ini kita memilih untuk menutup mata, bersiaplah kelak melihat mereka membuka mata di dunia yang sudah terlambat untuk diselamatkan.
Penulis: Fadlu Yauman
Tags
Opini