Pekan lalu, 23 September 2020 LPM Tanpa Titik melaksanakan agenda rutinan diskusi yang dilaksanakan dua minggu sekali. Diskusi tersebut dipandu oleh Khusnul Aqib dengan tema ngaji jurnalistik yang diikuti oleh teman-teman LPM Tanpa Titik. Diskusi dimulai pada pukul 13.00 WIB yang diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya Stanza 1,2,3 kemudian dilanjutkan oleh pemateri.
Khusnul Aqib mengawalinya dengan memberikan penjelasan mengenai pengertian dari Jurnal, Jurnalis, Jurnalistik, dan Jurnalisme. Namun sebelumya ia memberikan waktu kepada teman-teman untuk menyampaikan pendapatnya mengenai pengertian tersebut.
“Jurnalistik merupakan sebuah cara atau metode yng dilakukan untuk menyampaikan sesuatu dari berbagai pendapat atau fakta-fakta mengenai suatu hal”, tutur Iqbal menanggapi pengertian dari jurnalistik.
Agus juga memberikan tanggapan “Jurnal menurut saya yaitu berupa tulisan atau catatan”
“Jurnalis adalah subjek atau orang yang melakukan atau menyampaikannya”, sambung Izza.
Khusnul Aqib menyampaikan bahwa jurnal sendiri secara bahasa diartikan sebagai catatan. Sedangkan secara istilah jurnal diartikan sebagai sebuah karya yang didukung berdasarkan riset keadaan. Jurnalis merupakan subjek atau seseorang yang mencatat dan mengumpulkan data dengan menggunakan metode, cara, teknik dalam penulisan suatu kasus. Jurnalistik bersifat teoritis, berbicara tentang teknik, metode, cara menyampaikan berita, bijaksana atau tidaknya suatu berita, dan akan dikemas seperti apa. Sedangkan Jurnalisme berkaitan erat dengan peran subjek atau seorang jurnalis, pengetahuan yang ditampung olehnya, pemahaman dan ideologinya.
Kemudian Khusnul Aqib juga menyampaikan sedikit perihal penyajian suatu berita, dimana berita tersebut terkadang sifatnya memihak, tergantung pada daya serap seorang jurnalis dalam memberitakan suatu tanggapan peristiwa. Teknik penulisan mungkin sama, tetapi daya serap seseorang dalam menangkap keadaan itu yang berbeda. Contohnya dapat dibuktikan dalam permasalahan kesadaran, kesadaran dalam jurnalisme bagi jurnalis itu sendiri. Ada tiga jenis bentuk kesadaran. Pertama adalah kesadaran magic, dimana seseorang dalam melihat segala sesuatunya terjadi karena kehendak Tuhan. Kedua adalah kesadaran naif dimana seseorang itu melihat segala sesuatu yang terjadi pasti ada sebabnya. Dan bentuk yang ketiga adalah kesadaran yang juga harus ada pada diri seorang jurnalis, yaitu kesadaran kritis. Dimana dalam hal ini cara seseorang melihat suatu keadaan tidak hanya di kulit atau bagian luarnya saja, namun sampai pada akar permasalahannya. Untuk memiliki kesadaran kritis sendiri harus didukung oleh beberapa elemen. Pertama, kita senantiasa merasa dirinya bodoh, hal ini agar kita terus merasa rendah hati dan tidak memuculkan rasa sombong. Kedua, memiliki rasa selalu ingin tahu akan apa yang belum kita ketahui. Ketiga adalah membaca, kita perlu banyak membaca untuk membuka lebih banyak pengetahuan. Keempat adalah diskusi, dan yang terakhir adalah menulis.
“Kita belajar dari Najwa Sihab tentang bagaimana beliau bisa menjadi jurnalis yang hebat, padahal beliau tidak pernah sekolah yang bersinggungan dengan jurnalistik, tetapi karena daya baca beliau yang sangat dahsyat beliau bisa ada di posisinya sekarang”, tutur Khusnul Aqib menambahkan.
“Bagaimana menjadi jurnalis yang baik dan apakah jurnalis dapat bersifat dan bersikap netral?” sahut Izza menanyakan.
Khusnul Aqib menjelaskan bahwa seorang jurnalis adalah sebagai subjek. maka ia harus bersifat subjektif juga, tetapi gaya pengemasannya itu yang berbeda, Misal kita memihak tetapi tidak terlihat benar-benar memihak. Dan yang akan dilihat baik atau tidaknya diukur dari tekniknya, jurnalistiknya, bukan dari jurnalisnya.
Paradigma seorang jurnalis adalah memiliki sikap dasar kritis, yaitu kritis dalam mengumpulkan data. Teknik dalam jurnalistik investigasi itu bertanya sampai pada akar permasalahan. Analisis dibangun atas dasar skeptis dan tidak percaya begitu saja. Kemudian ada analisis sosial yang merupakan bagian dari jurnalistik. Dalam analisis sosial ada istilah konsep ideal dan ada konsep realita. Konsep ideal diartikan sebagai keadaan yang idealnya harus terjadi dan konsep realita diartikan sebagai keadaan yang terjadi pada saat itu. Dan ketika konsep ideal tidak sama dengan konsep realitanya bisa dipastikan adanya sebuah masalah, masalah itulah yang harus dicari oleh seorang jurnalis. Paradigma atau cara pandang seorang jurnalis (yang kritis) dipengaruhi oleh lingkungan, ilmu pengetahuan, dan perasaannya serta paradigma disesuaikan dengan tingkat daya serap seorang jurnalis.
“Adakah jurnalis dalam Islam? kemudian bagaimanakah jurnalis dalam Islam itu?”, sambung dari Azzam.
Dijelaskan bahwa Nabi dalam bahasa Arab yaitu Nabiyyun dari kata Nabaun yang berarti berita. Nabiyyun adalah subjek berarti pembawa berita, dimana membawakan berita itu harus benar. Maka Nabi dibekali 4 karakter yakni tabligh, sidiq, fathanah, dan amanah. Komponen yang harus ada pada seorang jurnalis adalah sidiq, fathanah, dan amanah, sedangkan komponen dalam jurnalistiknya adalah tabligh.
Diskusi berjalan dengan lancar, teman-teman pun mengikutinya dengan sangat antusias dan bersemangat. Dari sinilah kita mendapat banyak pengetahuan baru mengenai dasar-dasar jurnalistik. Harapannya, apa yang telah didiskusikan dapat diterima dengan baik dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis : Tim Redaksi