TEGAL – Minggu, 7 Desember 2025, menjadi momen istimewa bagi
Sahabat-sahabati Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Dalam suasana
yang penuh keakraban, hadir budayawan terkemuka, Ngatawi Al-Zastrow. Sosok
kelahiran Pati, 27 Agustus 1966, yang tumbuh dalam tradisi pesantren Nahdlatul
Ulama yang kental ini, membedah secara mendalam mengenai strategi kebudayaan,
mitos, hingga tantangan radikalisme.
Kearifan Lokal: Vaksin Radikalisme dan Pembedaan Nilai
Diskusi memanas ketika seorang sahabat melontarkan pertanyaan
mengenai relevansi kearifan lokal sebagai imunitas atau penangkal radikalisme,
serta kekhawatiran jika kearifan tersebut luntur.
Menanggapi hal itu, Zastrow menekankan perlunya pemahaman
ulang. "Ya dihidupkan kembali, maka harus dipahami dan dikaji. Kearifan
lokal itu bukan barang mati; ini termasuk laku hidup," tegasnya.
Beliau menjelaskan filosofi nilai dengan membedakan antara
nilai praksis dan nilai substansif.
"Nilai praksis itu nilai yang dapat berubah setiap
saat, tapi nilai substansif itu jangan dirubah. Seperti menghormati orang tua,
itu nilai substansif. Tetapi jika Anda mencium tangan, itu nilai praksis,"
urainya. Zastrow menambahkan bahwa ekspresi penghormatan bisa berubah formatnya
sesuai konteks aktual, asalkan substansi penghormatan tetap ada.
Menurutnya, seseorang yang memiliki "vaksin
kultural" yang kuat tidak akan mudah hanyut. Ia mencontohkan ulama
terdahulu seperti Syech Nawawi Al-Bantani, Abu Somad Al-Palembangi, hingga
Hasan Al-Banjari. Meski melanglang buana ke Timur Tengah dan berinteraksi
dengan beragam budaya serta ideologi, mereka tetap menjadi orang Nusantara saat
pulang.
"Kearifan lokal menjadi source (sumber) untuk melakukan
proses rekonstruksi dan eksplorasi gagasan. Mereka mampu merekonstruksi pikiran
secara canggih karena punya imunitas kultural itu," tambahnya.
Transformasi Kebudayaan: Dari Mitos, Etos, Menuju Logos
Diskusi beralih ke topik mitos dan tabu. Pak Syafii Palevi
menyinggung budaya Jawa tentang "Ora Ilok" (pamali), seperti larangan
keluar rumah setelah Maghrib yang kini mulai diabaikan. Sahabat Ilwan pun
menimpali dengan pertanyaan kritis, "Berarti memitoskan sesuatu itu bisa
merawat sesuatu hal yang lain?"
Yai Zastrow membenarkan hal tersebut. Ia memaparkan teori
Strategi Kebudayaan di mana mitos seringkali dianggap peyoratif, hina, dan
terbelakang, padahal mitos adalah titik pijak awal lahirnya ilmu pengetahuan.
"Strateginya adalah mentransformasikan mitos melalui
etos agar tercipta logos (ilmu pengetahuan/rasionalitas). Tetapi kalau mitos
dimatikan terus kamu buang, Anda tidak punya source lagi sebagai
pengetahuan," jelas Zastrow.
Beliau memberi contoh konkret tentang larangan menebang kayu
karena "ada yang jaga". Di masa lalu, ketika akal rasional belum
terbentuk sempurna, penjelasan mistis digunakan untuk menanamkan spirit dan
norma menjaga alam. Namun, ketika dijelaskan melalui etos dan logos, barulah
dipahami secara ilmiah bahwa pohon menyerap air, memperkuat tanah, dan
menghasilkan oksigen.
"Dulu penjelasannya 'yang jaga marah', marahnya berupa
bencana alam. Sajen diberikan agar makhluk hidup lain ikut makan dan menjaga
ekosistem. Itulah kearifan lokal," terangnya.
Begitu pula dengan konsep "ora ilok" keluar habis
Maghrib. Secara logos, itu adalah waktu istirahat dan refleksi, yang memiliki
penjelasan valid dalam psikologi sosial maupun kultural.
Kritik Modernitas: Situs, Ritus, dan "Kemusyrikan"
Jabatan
Zastrow menyoroti fenomena hilangnya pemahaman sejarah
akibat teknologi. "Jika dikasih HP, mitos diruntuhkan, situs dihancurkan.
Padahal transformasi kebudayaan harus berurutan, tidak boleh
disconnecting," ingatnya.
Beliau menekankan konsep tritunggal: Situs, Ritus, dan
Status.
1. Situs:
Bukan sekadar benda, tapi mengandung nilai, norma, knowledge system, dan
spirit.
2. Ritus:
Upacara atau laku untuk menghidupkan situs.
3. Status:
Aktualisasi atau hasil dari pemahaman tersebut.
Sayangnya, saat ini banyak situs dianggap sumber
kemusyrikan. Zastrow membantah keras pandangan ini. "Detik ini yang
memancing kemusyrikan itu bukan situs, melainkan jabatan dan uang. Itu yang
paling mudah memancing kemusyrikan dan merusak segala hal," tegasnya.
Masalah lain adalah ketidaksesuaian antara ritus dan situs
di era modern. "Ritus di HP itu seperti selfie, hal ini tidak related
dengan situs yang kita miliki," ujarnya. Menanggapi tambahan dari
Faturahman mengenai desain ritus dan lembaga adat desa, Zastrow sepakat bahwa
ritus harus mencerminkan makna situs agar tercipta status yang jelas.
Benturan Paradigma dan "Tsunami Kebudayaan"
Menjelang akhir diskusi, muncul pembahasan mengenai benturan
birokrasi dan budaya. Samsul menceritakan kasus pembangunan jembatan di mana
warga meminta ritual sesajen, namun dinas terkait menolak karena tidak ada pos
anggaran (RAB) untuk hal tersebut.
Zastrow melihat ini sebagai benturan paradigmatik yang harus
disambungkan. Ia juga memperingatkan tentang bahaya "Tsunami
Kebudayaan" atau deforestasi kultur. "Akhirnya alamnya yang longsor,
karena kita akan banyak yang hilang dan tertimpa longsoran-longsoran
budaya," warning-nya. Faturahman menambahkan contoh ketakutan orang tua
zaman dulu membangun rumah di tanah labil dengan mitos "terdapat ular
besar", yang sebenarnya adalah imajinasi perlindungan keselamatan.
Di penghujung acara, meski pembahasannya berat, Yai Zastrow
berpesan kepada sahabat PMII agar tidak merasa terbebani. "Tapi PMII rasah
berat-berat, yang penting gimana anak-anak. Dengan have fun saja,"
pungkasnya, menyadari bahwa generasi sekarang lebih akrab dengan BTS dan Army
daripada kearifan lokal, sehingga pendekatannya pun harus cair.
Penulis : Ilwan Qodri Ramadhan
