Di antara Layu Anggrek Sore Ini
![]() |
Pict by : Pinterest |
“Ini hanya perlu dipotong batang dan bunganya yang sudah mulai menguning. Setelah itu disemprot fungisida biar daunnya nggak dimakan bekicot-bekicot kecil, dan udah deh, siap dipajang kembali.” Ucapku sambil mengangkat pot yang terisi bunga anggrek.
Musim kemarau telah berganti. Bau petrikor menguar setiap pagi. Anggrek-anggrek di tamanku sedikit layu dan berlubang batangnya. Di saat musim hujan seperti ini, tanaman anggrek memang rawan terkena penyakit jamur. Harus benar-benar dirawat secara intensif. Jika di akarnya menggenang banyak air, dia akan membusuk, menjalar juga ke batang, daun, bahkan bunganya.
Memotongnya pun tak boleh
sembarangan. Harus menggunakan gunting atau pisau yang steril dengan cara
direbus terlebih dahulu, dibakar sebentar diatas api, atau direndam ke dalam
cairan disinfektan.
“Musim hujan memang nggak
baik buat anggrek.” Ucap Bagas sembari memilih bagian-bagian anggrek yang mulai
layu dan berjamur.
“Kayak tau aja.” Mataku
melirik, meledek Bagas yang meniru kalimatku beberapa waktu lalu. Dulu dia tak
terlalu suka tanaman. Baginya semua tanaman sama, seperti rumput liar di
lapangan. Tak perlu disiram, tak perlu dipupuk, nanti juga akan tumbuh subur
sendiri. Dia tak tau betapa susahnya merawat anggrek dan beberapa tanaman lain.
Aku uring-uringan ketika dia dengan enteng mengatakannya.
“Kan kamu yang bilang.”
“Iya iyaa, yang sekarang
udah ahli tanaman.” Kami tergelak bersama. Setelah sering melihat dan
membantuku merawat anggrek, Bagas kini lebih paham tentang dunia tanaman.
Pernah suatu hari dia bertanya, kenapa harus anggrek?
Bagiku, anggrek bukan
sekadar bunga yang ku gantung dan ku pajang di teras rumah. Menyertainya tumbuh
mempunyai kesenangan dan kepuasan tersendiri. Seperti seorang ibu yang melihat keberhasilan
anaknya. Selain itu, hobiku merawat anggrek bukan hanya sebatas suka, tetapi
sudah terlanjur cinta. Berkali-kali ku katakan kepada Bagas, “Suka dan cinta
itu berbeda, Gas. Kalau suka, ya hanya dipandangi saja, disawang-sawang tok.
Sedangkan kalau cinta itu dirawat, dijaga, digulawentah, diperjuangkan
dengan segenap tenaga, kekuatan, dan seluruh do’a-do’a. Sama juga ketika kita
menaruh cinta kepada seseorang.”
Bagas juga pernah
bertanya, apa nggak capek ya merawat tanaman kayak gini? Tentu capek.
Tapi yang namanya mencintai sudah sepaket sama rasa sakitnya. Seperti dua sisi
mata uang, nggak bisa dipisah. Kalau takut capek dan sakit, ya tidak usah
mencintai. Merawat tanaman juga begitu. Resikonya pasti ada. Tetapi pasti jauh
lebih banyak senengnya, manfaatnya, dan bahagia hatinya. Demikian juga dengan
mencintai, banyak cemasnya, banyak rindunya, banyak nangisnya, banyak
berantemnya, banyak cemburunya, tapi akan jauh lebih banyak bahagianya.
Selain itu aku yakin,
dalam diamnya anggrek-anggrek yang kutanam, ada do’a yang senantiasa terlantun indah
mengaliri nadi-nadi karena ketulusanku merawat dan menyayanginya. Pernah kubaca
dalam sebuah artikel, bahwa orang-orang yang mencintai bunga biasanya pandai
bergaul, tetapi tidak mudah terpengaruh. Tidak mudah membenci dan juga tidak
mudah terpesona. Sebab sudah terbiasa melihat bunganya layu, lalu gugur, dan
bersemi lagi. Dengan begitu dia akan paham dan memaknai hidup sebagai cakramanggilingan,
roda yang terus berputar.
Aku juga selalu mengatakan
kepada Bagas, kepada ibu, ayah, kepada semua orang, bahwa anggrek-anggrek di
depan rumah adalah anak-anakku. Lucunya, Bagas malah ikutan mengaku jika dia
adalah bapaknya. Ya aku tidak keberatan, selama dia mau membantuku merawat dan
menjaga anak-anakku, anggrek maksudnya. Enak saja, kalau dia mengaku bapaknya
tanpa mau tau susahnya merawat dan membesarkan mereka.
“Itu air yang menggenang
di daun-daunnya jangan..”
“Jangan lupa di-lap. Iya
ibu, siap. Sudah paham saya.” Bagas memotong kalimat yang belum selesai
kuucapkan. Kami kembali tertawa. Sudah semakin pintar saja dia.
Aku mulai memotong akar
yang sebagian membusuk karena tergenang air menggunakan gunting yang sudah
disterilkan sebelumnya. Semalam hujan turun dengan deras. Anggrekku basah kuyup
dibuatnya dan harus cepat-cepat dibersihkan. Pagi tadi langsung kuhubungi Bagas
untuk membantu merawat anak-anaku, anggrek maksudnya. Dan dia datang sore ini.
“Nikah yuk, Yan.” celetuknya
tiba-tiba.
“Yuk, tapi nanti ya
setelah aku lulus S2.” Jawabku sekenanya.
Kami sudah berteman sejak enam tahun yang lalu, sejak awal masuk SMA. Melihat pribadinya yang humoris dan unik, juga lembut dan penyayang, sebenarnya aku menyukainya. Bagas begitu menyenangkan, selalu antusias ketika mendengarkan cerita-ceritaku, bahkan cerita terabsurd sekalipun. Bukankah kunci harmonis sebuah hubungan terletak pada kelancaran komunikasinya? Namun biarlah, berteman saja. Tidak usah lebih. Berkali-kali dia memintaku menjadi pacarnya, namun selalu ku tolak baik-baik. Jika memang dia serius, datang saja ke rumah, temui ayah dan ibu. Tapi nanti, kalau sudah waktunya.
“Kenapa harus S2, sih? Kamu bahkan belum lulus S1. Nggak usah S2 deh, ya?”
“Kok gitu? Kenapa emang?
Karena nanti aku kerjanya di dapur?” Aku menatapnya tajam dengan alis yang
bertaut.
“Kamu tau, Gas? Aku nggak
suka sama orang yang punya pemikiran kayak gitu. Pendidikan sangat penting
bagiku. Apalagi aku perempuan. Kelak ketika sudah menikah, aku kan yang akan
menjadi sekolah pertama untuk anak-anakku.”
Bagas tidak menyaut.
Tangannya masih sibuk menyemprot cairan fungisida pada anggrek-anggrek yang
telah dibersihkan.
“Tugas perempuan pun bukan
hanya merawat anak dan melayani suami. Dia harus bisa menjadi guru, menjadi akuntan
yang pandai mengatur keuangan, koki untuk keluarganya, dokter, bahkan penasehat.
Bukankah tidak salah kalau aku ingin memberikan yang terbaik untuk keluargaku
nanti? Semakin banyak yang diketahui, justru semakin baik juga perempuan
menjalankan perannya, kan?”
“Tapi, aku kan cuma
lulusan SMA.”
“Memangnya kenapa? Kamu
ini menganut paham perempuan tidak boleh lebih tinggi pendidikannya dari
laki-laki, ya? Takut diremehkan? Takut gajinya nggak lebih tinggi dari istri? Lucu
kamu, Gas.”
“Ya asal istrinya ngga
mengeluh, protes gaji suami sedikit, dan nanti menggugat cerai karena alasan
ekonomi tidak tercukupi. Itu hal yang menakutkan bagi laki-laki, Yan.”
“Kalau itu sih, artinya
memang belum jodoh. Diluar sana, pasti masih banyak yang nggak berpikiran
seperti itu. Istri itu kan pendamping, bukan harus di kepala atau di kaki,
bukan harus di depan atau di belakang. Tapi disamping, menyertai langkah suami,
membersamainya suka maupun duka. Itu baru namanya jodoh. Tidak malah
mengendalikan dan mengambil peran suaminya.”
Bagas tersenyum getir.
Kalimatku seperti menjebaknya dalam gundah. Wajahnya kemudian seketika menjadi
datar, tanpa ekspresi. Barangkali ia kesal dengan apa yang baru saja
kusampaikan. Aku hanya tersenyum melihatnya dan kembali menata anggrek yang
telah selesai disemprot, menyusun rapi dan menggantung kembali di teras rumah.
“Pupuk yang kemarin kamu
minta, sudah aku belikan. Tapi lupa nggak tak bawa, besok ya.” Ucapnya
tanpa melirik ke arahku.
“Iya, besok juga nggak
apa-apa. Ini masih ada juga stoknya.”
Dia berjalan mendekat,
mengambil kantong kresek yang ada di sebelahku. Kemudian membungkuk,
mengumpulkan sampah-sampah anggrek yang berserakan. Bagi tanaman lain,
daun-daun yang berguguran dan membusuk mungkin bisa dijadikan pupuk alami untuknya
sendiri jika dibiarkan berada di atas akarnya. Namun berbeda dengan anggrek.
Dia tanaman steril. Maka sisa-sisa sampah tadi tak bisa dimanfaatkan dan harus
dibuang.
“Soal tadi, kayaknya aku
nggak jadi mau menikah denganmu.”
“Kenapa? Karena opiniku
tadi ya?” aku terkekeh. Bagiku, bukan masalah besar dia akan menikahiku atau
tidak. Jika benar dia memilih mundur karena opini yang kulontarkan, artinya
Tuhan telah menunjukkan, bahwa dia bukanlah laki-laki yang cintanya patut
kuperjuangkan.
“Kalau diawal saja sudah
berbeda pemahaman dan visi misi, sepertinya sulit untuk dilanjutkan, Yan,”
kalimatnya terjeda.
“Nantinya aku akan iri
sekali dengan laki-laki yang bisa melihat indah manik matamu setiap pagi,
setiap pertama kali ia membuka matanya.”
Sejak dulu, sejak
pertemuan pertama kita, Bagas selalu berkata seperti itu. Selalu memuji mataku
yang katanya indah. Sangat cocok dengan namaku, Nayanika, artinya mata indah
yang menarik.
“Jangan seperti itu, Gas.
Akan ada mata yang lebih indah yang berbinar setiap kali menyambutmu pulang
kerja nanti. Tetap menjadi Bagaskara ya, menjadi matahari yang menghangatkan
orang-orang di sekitarmu.”
“Apapun yang kamu lakukan,
aku akan selalu mendukungmu sebisaku. Tapi dengan cara seperti ini, tidak
lebih.”
Bagas membelakangiku,
mencuci tangannya yang kotor setelah membuang sisa daun dan anggrek layu yang
tadi selesai digunting. Ia kemudian berbalik. Seulas senyum bertengger di
bibirnya, senyum yang manis. Kemudian mengacak-ngacak rambutku yang memang
sudah berantakan tersapu angin. Tak lama, sentilan kecil mendarat di dahiku. Aku
mengaduh kesal. Dia memang begitu, selalu menyenangkan sekaligus menyebalkan,
tetapi pandai membuat kejutan, seperti sore ini.