Nobar dan Diskusi, Film Penyalin Cahaya
![]() |
Pixellab |
Diskusi rutinan Lembaga Pers Mahasiswa Tanpa Titik telah terlaksana pada hari Kamis, 24 Maret 2022. Berbeda dari biasanya, pada kesempatan kali ini diskusi dilaksanakan dengan nonton bareng film Penyalin Cahaya dan bertempat di ruang kelas FITK. Diskusi dimulai pukul 14.00 WIB, yang dibuka oleh dulur Rosiana dengan membaca surat Alfatihah. Kemudian dilanjutkan dengan menonton film.
Dulur-dulur LPM
menyimak dengan seksama film yang berdurasi dua jam sepuluh menit tersebut.
Setelah film selesai, dilanjutkan dengan berpendapat satu persatu.
Penyalin Cahaya (Photocopier) merupakan film yang menyabet 12 Piala Citra dari
17 nominasi di Festival Film Indonesia (FFI) 2021. Film ini berkisah tentang Suryani (Shenina Cinnamon), mahasiswi
berprestasi jurusan komputer yang datang ke pesta untuk pertama kali dalam hidupnya dalam
rangka merayakan
pencapaian Mata Hari, grup teater universitas tempat Sur menjadi sukarelawan
sebagai perancang web.
Namun suatu hari, foto-foto selfie mabuknya
beredar, sehingga ia harus kehilangan beasiswa karena dianggap telah mencoreng nama baik kampus. Sur
tidak mendapat dukungan dari siapapun, bahkan keluarganya sendiri menganggap
bahwa itu adalah kesalahan Sur. Sur yang harus menghadapi situasi sulit karena tidak ingat apa-apa tentang apa
yang terjadi malam itu, meminta bantuan Amin (Chicco Kurniawan), teman masa
kecil Sur, yang tinggal dan bekerja di kampus sebagai tukang fotocopy, untuk mencari
tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya dimalam pesta itu. Bersama-sama,
mereka mencoba menemukan kebenaran tentang foto selfie-nya di pesta
tersebut, dengan meretas ponsel para anggota teater. Ini perbuatan ilegal memang, tapi Sur terpaksa melakukannya untuk
mendapatkan petunjuk.
Dulur Syifa
berpendapat bahwa sampai saat ini, jika ada kasus kekerasan seksual kita masih
berfokus pada penanganannya. Seharusnya lebih difokuskan terhadap mental korban
terlebih dahulu. Ketika korban melaporkan ke pihak berwajib, ia malah dituntut
balik sebab tidak berkuasa. Apalagi dilihat pada film, orangtua Sur langsung
mengusirnya begitu saja ketika mengetahui ia diberhentikan dari beasiswa tanpa
mau mendengar alasannya.
![]() |
Dokumentasi LPM Tanpa Titik |
“Jika ada kasus seperti itu,
sebaiknya korban langsung diberikan rehabilitasi untuk pemulihan mentalnya,
tidak malah dihakimi dan terus disalahkan.” Ujar dulur Syifa.
Jalan cerita film memang dirasa sangat relate dengan kehidupan.
Korban kekerasan seksual yang seharusnya mendapatkan keadilan, namun malah
difitnah dan dikucilkan. Sedangkan pelaku bisa berkeliaran bebas karena
memiliki uang dan kekuasaan. Tak hanya itu, beberapa adegan juga kental sekali
akan kritikan atas apa yang terjadi di Indonesia. Seperti menyelesaikan masalah
hanya melalui vidio klarifikasi di media sosial, yang seharusnya bersuara
tentang kekerasan seksual, malah terpaksa harus meminta maaf.
“Saya menangkap pesan pada film
ini, bahwa ternyata banyak kejahatan-kejahatan yang terselubung. Dan mirisnya,
pelaku justru orang-orang yang ada di sekitar kita yang tidak menimbulkan
kecurigaan apapun.” Tutur dulur Sidni.
Menurutnya, kita pun harus tetap
berhati-hati dan waspada, bahwa kejahatan bisa saja ada di sekitar kita.
Film Penyalin Cahaya ini
berbicara tentang isu kekerasan seksual yang terus menjadi masalah besar di
masyarakat. Dalam alurnya terdapat salah satu scene ketika fogging
nyamuk DBD dengan beberapa kali menyebutkan slogan identiknya, yaitu “3M,
menguras, menutup, dan mengubur.” Seperti pada kasus pelecehan seksual yang
dialami oleh Sur, fogging dan 3M dapat menggambarkan kasus Sur dan
beberapa temannya yang senasib tidak mendapatkan keadilan, kasus tersebut
bagaikan dikuras, ditutup, dan dikubur begitu saja oleh pelaku kejahatan
tersebut. Fogging di sini juga menggambarkan mudahnya seseorang dengan
kendali dan kekuasaan penuh untuk membunuh nyamuk-nyamuk kecil yang
mengganggunya.
Asap Fogging membuat
visual gambar menjadi kabur. Visual tersebut menggambarkan keadaan yang tidak
pasti. Usaha-usaha dan keberanian yang ditunjukan Sur dan teman-temannya ternyata
mendapatkan hasil yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Penggunaan simbol-simbol sinematik dan design produksi dirasa pas sebagai
pilihan yang tepat. Menonton film ini, menguatkan kalimat “Ketika berhimpun,
kita pasti lebih kuat. Berjalan sendiri akan lebih cepat sampai. Namun berjalan
bersama akan lebih jauh.”
Dulur Arfia
juga berpendapat, bahwa kita harus berani speak up mengenai
masalah-masalah kekerasan seksual seperti yang disebutkan diatas. Saat banyak
orang yang speak up, penyintas akan tahu dirinya tidak sendirian dan
banyak yang masih mau mendukung. Selain itu, hal ini harus diterapkan karena
menjadi salah satu tahap penting bagi proses pemulihan dan juga bisa
diibaratkan sebagai ‘kekuatan’ tambahan yang perlu untuk dimiliki oleh korban.
Tak terasa, waktu telah
menunjukkan pukul 17.20 WIB. Diskusi berjalan dengan lancar, dan diakhiri
dengan pembacaan sholawat maula ya sholli bersama-sama.
Penulis : Rosiana