Sumber: Google
Salam pergerakan kerap terdengar lantang, tangan mengepal menegaskan semangat, terutama dalam aktivitas Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (ORMEK) seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Baik dalam acara resmi maupun santai, gaya ini seolah sudah menjadi identitas yang menempel erat. Begitu terdengar pekikan salam pergerakan, orang langsung menebak: pasti PMII.
Tetapi seberapa besar sebenarnya pengaruh salam pergerakan itu? Apakah sekadar simbol yang mampu menembus batas mental “mager” kita, atau benar-benar memantik massa untuk bergerak mengkritik, menuntut perubahan, hingga suaranya didengar? Kita boleh saja menafsirkan maknanya sesuka hati. Namun, pernahkah kita tanyakan pada nurani kita: sudahkah salam pergerakan itu terwujud dalam sikap, pikiran, dan kepekaan hati ketika melihat orang-orang di sekitar kita masih berjibaku demi bertahan hidup, bahkan untuk sepiring nasi saja mereka kesulitan?
Coba kita renungkan, baik kader PMII maupun bukan, pada hakikatnya manusia memang ditakdirkan untuk hidup bersosial, bergerak menjalani tujuan sesuai dengan ajaran Tuhan. Tanpa interaksi dengan sesama, hidup ini hambar. Bukankah manusia dijadikan khalifah di bumi bukan hanya untuk memikirkan dirinya sendiri? Selama kita masih merasakan ajaran Rasulullah, kita punya tanggung jawab memberi kontribusi bagi umat sekecil apa pun, entah itu tenaga, pikiran, atau materi.
Di era disrupsi sekarang, sayangnya kontribusi semacam itu sering tak dianggap penting. Banyak orang yang akhirnya hanya terjebak pada orientasi ekonomi, sebuah lingkaran yang tak pernah benar-benar usai. Padahal sejarah Rasulullah mengajarkan, keterbatasan ekonomi bukan alasan untuk berhenti berjuang. Bahkan kita sering terjebak dengan pola pikir “kalau begini, maka begitu” tanpa mau menelusuri akar masalah. Padahal kalau kita tak mampu dalam satu hal, masih ada ruang lain yang bisa kita garap pada level besar, inilah yang memantik perubahan.
Ingat ketika kita belum jadi mahasiswa, betapa sederhananya cita-cita kita. Setelah lulus sekolah, ingin bekerja, dapat UMR, lalu membahagiakan orang tua. Setelah wawasan perlahan terbuka, kita baru sadar: membahagiakan orang tua tak melulu harus lewat harta, apalagi waktu mereka di dunia terus berkurang. Mungkin kehadiran kita saja sudah cukup membuat mereka bahagia. Sebab kebahagiaan itu sifatnya nisbi. Bahagia yang hakiki baru akan kita temukan di surga-Nya kelak. Dari sana kita belajar, sebetulnya perjuangan kita adalah mencari rida Tuhan dengan jalan berkontribusi untuk umat agar sama-sama meniti jalan yang telah disempurnakan oleh petunjuk-Nya.
Mahasiswa, dalam kiasan, adalah seperti Google Maps. Ia sudah menandai tujuan; siapa yang mengikuti petunjuknya dengan sabar akan sampai dengan selamat. Tapi tentu perjalanan tak selalu mulus. Ada saja rintangan yang berusaha menggiring kita pada tujuan lain yang bukan seharusnya. Godaan itu bisa berupa “setan-setan” kapitalisme yang merayu mahasiswa agar meninggalkan idealisme, menjual sikap demi kenyamanan atau keuntungan pribadi. Banyak yang akhirnya terperangkap, sibuk mengejar hasil yang tak pernah cukup. Negara pun ikut mengatur regulasi yang lebih berpihak pada pemodal. Rakyat kecillah yang akhirnya menanggung akibatnya.
Pergerakan semacam ini akhirnya hanya hidup di angan-angan, jadi hayalan belaka. Kita terlalu malas untuk benar-benar bergerak. Lalu, bagaimana kita bisa menuntun kalau berjalan pun enggan?
Penulis: Ilwan
Tags
Essai